in , , ,

Tidak Semua Perbuatan Baik itu Benar, dan Salah itu Jahat

Tidak Semua Perbuatan Baik itu Benar, dan Salah itu Jahat
Tidak Semua Perbuatan Baik itu Benar, dan Salah itu Jahat

Ada dua terminologi moral-etika yang seringkali kita campur-adukkan atau kita pertukarkan penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari, yaitu ‘baik’ dengan ‘benar’ dan ‘jahat’ dengan ‘salah’. Kita sudah terbiasa mendengar orang berkata atau kita sendiri yang mengatakan “bekerjalah dengan baik dan benar!”

Pertanyaannya, apa sih ukuran suatu perbuatan itu bisa disebut baik dan benar? Samakah berbuat baik dengan berbuat benar? Apakah perbuatan yang baik itu pasti benar; dan sebaliknya setiap perbuatan benar itu pasti baik? Selanjutnya, apa pula yang dimaksud dengan ‘berbuat jahat’ dan ‘berbuat salah’ itu? Apakah orang yang berbuat salah itu pasti jahat, dan yang berbuat jahat itu pasti salah?

Dalam konteks filsafat-moral, ‘baik’ dan ‘benar’ ternyata bisa dibedakan. Suatu tindakan (objek dan cara) disebut perbuatan baik jika memberikan manfaat instrumental dan biologis. Kemanfaatan instrumental berkaitan dengan kemudahan dan kenyamanan dalam mencapai tujuan, sementara kemanfaatan biologis bertemali dengan kesehatan dan kesejahteraan jiwa dan raga.

Selanjutnya, suatu tindakan disebut perbuatan benar jika sesuai dengan standar norma dan aturan yang disepakati, diterima atau berlaku di dalam suatu komunitas.

Untuk lebih memperjelas dan memahami perbedaan antara perbuatan baik dengan benar; antara berbuat jahat dengan salah, mungkin ada baiknya kita simak contoh-contoh kasus ilustratif berikut ini.

1. Berbuat Salah Tetapi tidak Jahat

Berbuat Salah Tapi Tidak Jahat
Berbuat Salah Tapi Tidak Jahat

Salah seorang warga di tempat tinggal saya, sebut saja Ny Aminah, sedang merintis usaha membuat makanan ringan. Untuk mengetahui apakah makanan yang dibuatnya itu sudah memenuhi selera konsumen, baik cita rasa maupun tampilannya, Ny Aminah sengaja menyebar sampel produknya ke beberapa tetangga (mayoritas ibu-ibu) agar mencicipinya.

Ketika Ny Aminah meminta komentar tetangga, semua ibu-ibu yang telah mencicipi makanan tersebut memberikan pujian yang sangat membesarkan hati. Tetapi, sepeninggal Ny Aminah, ibu-ibu tadi justru saling ‘berbisik’ menyebut makanan produk Ny Aminah sebagai makanan yang tidak enak, tampilannya norak. Pendek kata tidak ada ibu-ibu, yang menjadi tester, yang menganggap makanan tadi sebagai produk layak-jual.

Bermodal pujian yang diberikan para tetangga tadi Ny Aminah pun dengan penuh percaya diri memproduksi makanannya untuk segera dipasarkan. Apa yang terjadi? Jangankan mendapat laba, Ny Aminah justru kehabisan modal karena makanannya tidak laku.

Pertanyaannya, apakah perbuatan ibu-ibu kompleks memuji kualitas masakan di hadapan pembuatnya, Ny Aminah, adalah sesuatu yang baik dan benar atau sesuatu yang salah dan jahat?

Jika kita sepakat bahwa mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya adalah kebohongan, sementara berbohong adalah perbuatan salah secara moral, maka pujian ibu-ibu terhadap kualitas masakan Ny Aminah itu adalah perbuatan salah.

Selanjutnya, apakah pujian ibu-ibu yang tidak ingin membuat Ny Aminah tersinggung atau sakit hati itu bisa disebut sebagai perbuatan baik? Belum tentu. Sebab, tujuan Ny Aminah menanyakan pendapat ibu-ibu mengenai kualitas masakan yang dia buat adalah untuk mengevaluasi hasil kreasinya, apakah telah sesuai dengan tuntutan pasar atau belum. Karena tujuan uji-cicip tidak tercapai, bahkan berujung pada kerugian, maka pujian (basa-basi) ibu-ibu kompleks terhadap kualitas masakan Ny Aminah itu bukan perbuatan yang baik.

Apakah, dengan begitu pujian ibu-ibu yang berujung pada kerugian Ny Aminah bisa disebut perbuatan jahat? Ya, belum tentu juga.

Itu semua tergantung pada niat atau tujuan sebenarnya dari pujian tersebut. Jika pujian tadi memang diniatkan oleh ibu-ibu tester sebagai upaya untuk menjerumuskan Ny Aminah, bolehlah perbuatan ibu-ibu tadi disebut perbuatan jahat. Tetapi, jika niatnya semata-mata untuk membesarkan hati Ny Aminah maka pujian ibu-ibu itu hanyalah perbuatan salah tetapi bukan perbuatan jahat. Kesalahan ibu-ibu kompleks adalah memberikan komentar (pujian) yang tidak relevan dengan maksud Ny Aminah mengadakan uji-cicip kualitas masakannya.

Lantas bagaimana sebaiknya kita bersikap dan bertindak ketika menghadapi situasi seperti yang terjadi dalam ilustrasi di atas? Simpel sebenarnya. Kita tidak harus memberikan pujian apalagi kritikan. Melainkan, memberikan saran masukan yang terukur kepada orang yang bersangkutan.

Dalam kasus Ny Aminah, misalnya, jika ibu-ibu yang diminta mencicipi masakan tersebut menganggap rasanya kurang lezat dan kurang menarik tampilannya, maka ibu-ibu tadi cukup memberikan saran-masukan tentang apa bahan yang perlu ditambahkan dan seperti apa tampilan yang sesuai dengan selera konsumen. Dengan begitu ibu-ibu terhindar dari kebohongan dan orang bersangkutan Ny Aminah terhindar dari kerugian.

2. Berbuat Baik tetapi Tidak Benar

Berbuat Baik tetapi Tidak Benar
Berbuat Baik tetapi Tidak Benar

Suatu ketika dua orang anggota Polisi Lalu-lintas di suatu Polresta yang sedang berpatroli menjumpai seorang emak-emak berpakaian necis mengendarai sepeda motor tanpa mengenakan helm. Kedua polisi itupun meminta emak-emak tadi untuk menepi dan berhenti. Polisi mengingatkan si emak bahwa tidak mengenakan helm saat mengendarai sepeda motor adalah melanggar aturan lalu-lintas. Ketika ditanya megapa dia tidak mengenakan helm. Si emak menjawab bahwa dia sengaja tidak mengenakan helm karena dua alasan:

1) Dia hanya berpergian jarak dekat, kurang dari 2 km, ke tempat pesta dimana dia adalah salah satu panitia-nya. Karena tempat yang ditujunya cukup dekat maka dia tidak perlu dan tidak akan ngebut. Sehingga, menurut si emak-emak tadi, meskipun tanpa helm dia yakin bisa menjaga keselamatannya saat berkendara.

2) Dia sedang mengenakan busana dan riasan (make up) pesta. Jika dia mengenakan helm maka riasan di wajah dan asesoris di kepalanya pasti rusak semua. Mengingat waktu yang diperlukan untuk merias diri tidaklah sebentar dan biaya tata rias itu juga tidak murah maka dia sengaja tidak mengenakan helm.

Rupanya, kedua anggota Polantas berpangkat bintara yang masih muda-muda itu bukanlah polisi yang memandang dan menerapkan sebuah peraturan dan perundang-undangan secara tekstual. Meskipun keduanya tahu bahwa si-ibu telah melanggar undang-undang lalu-lintas dan layak ditilang, tetapi setelah melihat keadaan busana dan riasan si ibu dan mendengar alasan yang disampaikan si-ibu, kedua polisi tadi bisa memakluminya.

Kedua Polantas itu pun lantas membebaskan si-ibu dan, alih-alih menilang, keduanya mengawal si ibu (mengiringi dari belakang) sampai ke tempat yang dituju si ibu.

Pertanyaannya, apakah tindakan kedua polisi membebaskan si ibu yang jelas-jelas telah melanggar aturan lalu lintas dari tindakan hukum (penilangan) itu bisa dibenarkan? Selanjutnya, apakah aksi pengawalan yang dilakukan kedua polisi untuk mengantarkan si ibu sampai ke tempat tujuannya itu adalah suatu kebaikan?

Jika perspektif penegakan hukum saja yang jadi pertimbangan, jelas sekali tindakan kedua polisi itu salah. Tetapi jika perspektif fungsi dan manfaat dari dibuatnya peraturan dan perundang-undangan yang dijadikan pertimbangan maka tindakan keduanya membebaskan dan mengawal si ibu adalah sesuatu yang sangat baik.

Kesimpulan

Tidak semua perbuatan baik itu benar, tidak semua perbuatan salah itu jahat. Baik dan benar adalah ukuran ideal perbuatan manusia yang beradab. Sebaliknya, salah dan jahat adalah ukuran kebiadaban. Akan tetapi tidak ada manusia di dunia ini yang bisa dan sanggup melakukan segalanya dengan baik dan benar.

Juga, tidak ada manusia yang mau dan senang melakukan kesalahan dan kejahatan dalam hidupnya. Oleh sebab itu, jika kita ingin berkontribusi dalam pembangunan peradaban masyarakat, berbuatlah sesuai dengan kapasitas diri dan empati yang kita miliki.

Written by Mohammad Kanedi